KEL. SENDANG – KEC. SUMBER – KAB. CIREBON
CP : TIM PUSTAKA AL-BAHJAH 081 312 131 936
Senin tgl. 10 Ramadhan 1433 H / 30 Juli 2012
بِِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ, الَّذِيْ أَكْرَمَنَا بِشَهْرِ رَمَضَانَ, الَّذِيْ جَعَلَنَا مِنْ أَهْلِ الصِّيَامِ وَالْقِيَامِ, وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ أَفْضَلِ الصَّائِمِيْنَ وَأَحْسَنِ الْقَائِمِيْنَ. حَبِيْبِنَا وَشاَفِعِنَا وَمَوْلاَناَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. أَمَّا بَعْدُ
ULASAN PENGAJIAN AT-TIBYAN BERSAMA BUYA YAHYA
FASAL
Fis Tihbabi Tahsinis Shouti Bil Qur’an
Disunnahkannya Memperbagus Suara Ketika Membaca Al-Qur’an
Telah menjadi kesepakatan Ulama’ radhiyallahu ‘anhum (semoga Allah meridhoi mereka) dari generasi Salaf (hidup di 3 abad pertama hijriyah) dan Kholaf (setelah abad ke 3 sampai sekarang) baik dari kalangan Shabat dan Tabi’in dan dari Ulama’-Ulama’ setelah mereka penjuru negri yang merupakan para Imamnya kaum Muslimin bahwasannya : Memperbagus suara ketika membaca Al-Qur’an adalah disunnahkan. Adapun perkataan dan perbuatan mereka sudah sangat masyhur di puncak kemasyhuran, akan tetapi kami sudah merasa cukup untuk mengambil beberapa saja dari hal tersebut.
Adapun dalil-dalil ini semua adalah berdasarkan Hadits Rasulullah SAW itu sangta banyak yang diketahui oleh orang awam dan Khusus seperti Hadits-Hadits berikut ini :
زَيِّنُوْا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ. رواه الحاكم في المستدرك 2145
“Hiasilah Al-Qur’an dengan suara-suara kalian”. HR. Imam Al-Hakim dalam Al-Mustadrak no. 2145
عَنْ أَبِيْ مُوْسَى اْلأَشْعَرِيِّ رَ ضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهُ : لَقَدْ أُوْتِيْتَ مِزْمَارًا مِنْ مَزَامِيْرِ آلِ دَاوُدَ. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ.
Dari Abu Musa AL-Asy’ari ra bersabda kepadanya “Sungguh engkau telah diberikan seruling dari serulingnya keluarganya Abu Daud”. HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَ ضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ مَا أَذِنَ اللهُ لِشَيْءٍ مَا أَذِنَ لِنَبِيٍّ حَسَنِ الصَّوْتِ يَتَغَنَّى بِالْقُرْآنِ يَجْهَرُ بِهِ. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ, وَمَعْنَى أَذِنَ اِسْتَمَعَ, وَهُوَ إِشَارَةٌ إِلَى الرِّضَا وَالْقَبُوْلِ
Dari Abu Hurairah ra aku mendengar Nabi Muhammad bersabda “Allah sangat senang mendengar orang yang memperbagus suaranya ketika mebaca Al-Qur’an dan mengeraskannya”, HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim, makna mendengar di sini adalalh isyarat ridho dan menerimanya.
Semua hadits-hadits tersebut telah disebutkan di Fasal sebelumnya, dan telah disebutkan dalam Fasal At-Tartil hadits Abdullah Bin Mughoffal di dalam Bab Nabi Muhammad mengulang-ulang bacaan, begitu juga hadits yang diriwayatkan oleh Sa’id Bin Abi Waqos dan Hadits riwayat Abu Lubabah ra :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقُرْآنِ فَلَيْسَ مِنَّا. رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ
Sesunggunya Nabi Muhammad SAW bersabda : “Barang siapa tidak melagukan Al-Qur’an maka ia bukan dari golongan kami”. HR. Imam Abu Daud dengan sanad-sanad yang bagus, akan tetapi di dalam sanadnya Sa’id ada perbedaan yang tidak membahayakan yakni tidak bermasalah.
Jumhur Ulama’ berkata : Makna melagukan Al-Qur’an adalah memperbagus suaranya ketika membaca Al-Qur’an, begitu juga hadits riwayat Al-Barra' :
قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ فِي الْعِشَاءِ بِـ(التِّيْنِ وَالزَّيْتُوْنِ) فَمَا سَمِعْتُ أحَدًا أَحْسَنَ صَوْتًا مِنْهُ. رَوَاهُ الْبخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ
Al-Barra’ berkata, aku mendengar Rasulullah SAW membaca Surat At-Tin saat Sholat Isya’, sungguh aku tidak pernah mendengar suara yang lebih bagus suaranya dari pada Rasulullah SAW. HR. Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim
Para Ulama’ rahimahumullah (semoga Allah merahmati mereka) berkata :
“Disunnahkan memperbagus suara ketika membaca Al-Qur’an, tentunya dengan kaidah-kaidah membaca yang benar (Tajwid & Makhraj Huruf), selama tidak keluar dari batas-batas bacaan yang benar yaitu dengan tidak meliuk-liukkannya dengan panjang, akan tetapi ketika ia berlebihan dalam membacanya sampai menambah satu huruf atau menyembunyikan hurufnya maka hukumnya itu adalah Haram”.
Adapun membaca dengan melagukannya, telah dikatakan oleh Imam Asy-Syafi’i rahimahullah (semoga Allah merahmatinya) pada suatu kesempatan :
“Aku kurang senang dengan bacaan yang dilagu-lagukan” dan beliua berkata pada kesempatana lain : “Aku tidak membencinya”.
Ulama’-Ulama’ Madzhab Syafi’i berkata : Maksud bacaan yang dilagu-lagukan bukan pada 2 perkatan Imam Syafi’i secara dzohir akan tetapi diperinci lagi yaitu :
1. Jika bacaannya berlebihan sampai meliuk-liukkannya sampai menyalahi batasan-batasan yang benar maka itulah yang tidak disenangi oleh Imam Asy-Syafi’i.
2. Adapun kalau tidak melebihi batasan-batasan yang benar itulah yang tidak dibenci oleh Imam Asy-Syafi’i
Imam Al-Mawardi yang merupakan Imamnya para Qodhi menyebutkan dalam kitabnya Al-Hawi :
“Membaca dengan dilagu-lagukan sebagaimana yang terjadi baru-baru ini apabila mengeluarkan lafadz Al-Qur’an dari Shighot (bentuk lafadz) dengan memasukkan harakat-harakat ke dalamnya, atau dengan membuang harakat-harakat dari lafadz tersebut, atau memperpendek bacaan Mad (bacaan yang panjang), atau memperpanjang bacaan yang pendek (bukan Mad), atau nenperpanjang sampai merusak sebagian lafadz dan merusak maknanya maka itulah yang HARAM, pelakunya mendapat gelar FASIQ dan yang mendengarnya mendapat DOSA, disebabkan hal tersebut telah menyeleweng dari cara yang benar ke cara yang salah.
وَاللهُ تَعَالَى يَقُوْلُ : (قُرْآنًا عَرَبِيًاغَيْرَ ذِيْ عِوَجٍ) – الزُّمَرُ : 28
Allah SWT berfirman : “Al-Qur’an dalam bahasa Arab tidak ada penyelewengannya ”. QS Az-Zumar : 28
Akan tetapi kalau lagunya tersebut tidak mengeluarkan lafadz dan bacaannya dari kaidah membaca yang benar (Tartil ) itu diperkenankan sebab dengan lagunya tersebut ia memperbagus bacaannya. Inilah pendapatnya Imamnya para Qodhi
Inilah bagian pertama dari bacaan dengan melagu-lagukan yang haram adalah maksiat, yang kebanyakan terjadi pada sebagian orang awam yang bodoh dan orang-orang yang dzolim yang biasanya bacannya dikontrak membaca Al-Qur’an untuk orang yang meninggal atau di sebagian Resepsi dan ini adalah Bid’ah yang diharamkan secara jelas, dan bagi yang mendengarnya mendapatkan Dosa sebagaimana tadi dikatakan oleh Imamnya para Qodhi, dan berdosa juga setiap orang yang mampu menghentikan kemungkaran tersebut (yakni bacaan Lahn yang keluar dari kaidah Tajwid), atau mampu mencegahnya jika ia tidak mau melakukan hal tersebut (yakni tidak mau mencegah atau menghentikannya).
Imam An-Nawawi berkata :
“Sungguh aku telah mengerahkan segala upayaku untuk menyelesaikan masalah ini (mencegah orang untuk membaca dengan bacaan Lahn yang haram), dan aku berharap kepada Allah SWT agar memberikan Taufiq-Nya untuk menghilangkan maksiat tersebut, dan menjadikannya aman-aman saja ”.
Imam Asy-Syafi’i berkata dalam kitab Mukhtashor Al-Muzani :
“Memperbagus bacaan dengan cara yang ia bisa ”, kemudian beliau berkata lagi : “Aku lebih senang kalau cara membacanya adalah Hadar dan dibarengi dengan sendu”.
Pakar bahasa berkata : “Aku meng-hadarkan bacaan, yakni : Aku memasukkannya dan tidak terlalu memanjangkannya, dikatakan Seseorang membaca dengan sendu apabila ia melembutkan suaranya”.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَرَأَ (إِذَا الشَّمْسُ كُوِّرَتْ)} التَّكْوِيْرُ:1 {يحزنها شبه الرثاء. رواه إبن أبي داود
Dari Abu Hurairah ra sesungguhnya beliau membaca إِذَا الشَّمْسُ كُوِّرَتْ (QS. At-Takwir : 1) dengan sendu seperti orang yang membaca syair bela sungkawa. HR. Ibnu Abi Daud
وَفِيْ سُنَنِ أَبِيْ دَاوُدَ قِيْلَ لِإِبْنِ أَبِيْ مُلَيْكَةَ : أَرَأَيْتَ إِذَا لَمْ يَكُنْ حَسَنَ الصَّوْتِ؟ فَقَالَ : يُحْسِنُهُ مَا اسْتَطَاعَ.
Diseburtkan dalam Sunan Abu Daud, dikatakan kepada Ibnu Abi Mulaikah : “Bagaimana menurutmu jika suaranya tidak bagus? Maka beliau menjawab : “Hendaknya ia memperbagus bacaannya semampunya”.
Pelajaran yang bisa kita ambil :
1. Memperbagus suara di waktu membaca Al-Qur’an itu dianjurkan, akan tetapi jangan sampai karena membaguskan suaranya malah merusak bacaannya (yakni melanggar kaidah Tajwid) seperti terlalu panjang atau terlalu pendek sedangkan ia paham tentang ilmu Tajwid khususnya para Ustadz, bahkan ini malah HARAM dan DOSA, tak hanya itu saja yang mendengar juga berdosa jika ia mampu mencegah atau menghentikannya akan tetapi ia malah tidak mencegahnya.
Lebih-lebih ketika Sholat Taraweh yang biasanya banyak di beberapa tempat khususnya yang melakukan Sholat Taraweh 20 rakaat banyak di antara Imamnya yang mempercepat bacaannya sehingga mengurangi panjang mad yang semestinya dibaca panjang, maka yang menajdi ma’mum berdosa kalau tidak mengingatkannya.
2. Bagi Qori’ah (wanita yang mahir dan bagus bacaannya), kami harap para Qori’ah memperhatikan adab-adab membaca yang benar, jangan sampai seorang Qori’ah melantunkan ayat dengan melagukannya di hadapan lelaki Ajnabi (bukan mahromnya) dan ini tidak diperkenankan oleh Syariat. Seorang Qori’ah boleh melantunkan Ayat Al-Qur’an dengan mendayu-dayu untuk dirinya sendiri, suaminya, keluarganya dan di hadapan para wanita lainnya, yang tidak boleh adalah di hadapan lelaki yang bukan mahromnya.
Memang suara wanita bukanlah Aurat dalam Madzhab kita Imam Syafi’i, akan tetapi permasalahannya Al-Qur’an berbeda dengan sekedar ucapan, sebab Al-Qur’an wajib didengar, makanya tidak diperkenankan bagi seorang wanita membaca di hadapan laki-laki yang bukan mahrom. Allah SWT berfirman di dalam Al-Qur’an :
يَانِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا
“Wahai istri-istri nabi, kalian tidak sama dengan wanita-wanita yang lain, jika kalian bertakwa maka janganlah kalian melembutkan suara dalam berbicara sehingga timbullah keingin orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Al-Ahzab: 32)
Pertanyaan :
1. Ada seseorang gusinya berdarah dan bercampur dengan ludahnya, apakah puasanya batal kalau ludah tersebut ditelan?
2. Bagaimana hukumnya kalau ada orang membaca Al-Qur’an tanpa menggunakan Tajwid, dan ketika ia diingatkan malah marah?
3. Bolehkah seorang isteri zakat fitrahnya diniatkan oleh suaminya?
Jawaban :
1. Masalah puasa, darah itu najis menurut Madzhab Syafi’i dan jumhur Ulama’ dan telah kami sebutkan dalam Fiqih Praktis Puasa ludah tidak membatalkan puasa denagn 3 syarat :
a. Ludahnya sendiri
b. Ludah masih di tempatnya
c. Ludahnya tidak bercampur dengan apapun
Nah kasusnya adalah kalau skeluar darahnya sudah tidak bisa dihindari seperti punya tumbuh karang di giginya sehingga sering mengeluarkan darah maka hal itu dimaafkan, darahnya tetap najis akan tetapi tidak membatalkan puasanya.
2. Yang perlu diperhatikan adalah kalau orang tersebut memang belum mnegusai ilmu Tajid maka tidak berdosa bahkan mendapatkan 2 pahala sebagaimana disebutkan dalam hadits seorang wanita mengadu kepada Rasulullah SAW tentang bacaannya yang kurang baik :
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ، وَالَّذِيْ يَقْرَأُ الْقُرْآنِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ وَيَتَتَعْتَعُ فِيْهِ لَهُ أَجْرَانِ. رواه مسلم
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda : “Seseorang yang membaca Al Qur’an dalam keadaan mahir maka ia bersama para malaikat yang mulia dan seseorang yang membaca Al-Qur’an dalam keadaan terbata-bata dan mengalami kesulitan maka ia mendapatkan 2 pahala.” [H.R Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim].
Akan tetapi bagi yang sudah menguasai Ilmu Tajwid malah membaca Al-Qur’an seenaknya sendiri yakni tanpa mengindahkan kaidah-kaidah Tajwid maka ia berdosa, makanya ketika anda ingin menegur orang yang bacaannya salah atau asal baca Tanya dahulu apakah ia mengetahui Tajwid tidak, jangan sampai ibu-ibu yang sudah sepuh yang tidak paham Tajwid anda paksa untuk membaca dengan Tajwid bahkan ternyata orang seperti itu mendapatkan 2 pahala yaitu : 1. Pahala bacaan utuh, 2. Pahala susahnya ia untuk membaca, akan tetapi di samping itu ia harus terus berusaha untuk belajar Tajwid untuk memperbenar bacaannya.
3. Seseorang yang sudah Baligh tidak sah zakatnya jika diniatkan oleh orang lain baik itu suaminya, orang tuanya dan lain sebagainya, berbeda dengan anak kecil atau orang gila, pingsan/okname maka yang meniatkan zakat fitrahnya adalah walinya yakni orang tuanya, nah yang sering jadi masalah adalah Ustadznya yang salah ngasih bimbingan, yaitu niat harus memegang berasnya apalagi yang berzakat adalah wanita ketika memegang bersanya malah lengan bajunya terbuka ini malah haram karena telah membuka aurat, padahal berniat Cuma cukup di hati walaupun tidak memegang beras tetap sah. Wallahu A’lam Bisshowab.
By : Tim Pustaka Al-Bahjah
Sumber : Artikel – Ulasan Pengajian – Buya Yahya di
www.buyayahya.orgReShared By :
Muslimah